Monday, March 29, 2010

who..? chapter III (investigative reporting assignment)

BAB III

Museum Bahari yang Terbengkalai

Puluhan kapal besar terlihat berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa di siang hari. Terlihat juga kapal-kapal besar yang sedang melaut di laut Jakarta. Pemandangan indah itu kami dapatkan hanya di puncak menara Museum Bahari.

Senang dan takjub. Itu yang kami rasakan saat kami berada di puncak menara Museum Bahari. Tak ada satupun pengunjung selain kami yang mengunjungi menara Museum Bahari di hari libur waktu itu. Saat itu kami penasaran apa yang ada di dalam menara Museum Bahari. Kami pikir menara itu sedang tutup karena tak ada pengunjung.

Kami bertemu seorang bapak yang menjadi penjaga menara Museum Bahari. Beliau menawarkan kami membukakan pintu menara jika kami ingin melihat apa yang ada di dalam menara Museum Bahari. Kami sangat senang menerima tawaran bapak itu.


Di dalam menara terlihat beberapa foto beserta keterangan bersejarah mengenai Jakarta dan Museum Bahari. Menurut keterangan dari bapak penjaga menara Museum Bahari itu, dulu menara ini berfungsi sebagai mercusuar pelabuhan Sunda Kelapa pada saat jaman Belanda menjajah Indonesia. Saya dan teman-teman sangat tertarik untuk naik ke puncak menara dengan menaiki anak tangga yang curam dan terbuat dari kayu.

Cukup lelah dan pegal saat menaiki anak tangga menuju puncak menara Museum Bahari. Tapi rasa lelah dan pegal kami hilang begitu saja saat kami melihat pemandangan laut yang indah dari puncak menara. Di depan menara dekat meriam, terdapat tugu kecil yang dipersembahkan kepada para pejuang yang pada jaman dulu menancapkan batu landasan saat akan membangun menara Museum Bahari, pada peringatan HUT 450 tahun DKI Jakarta. Tugu tersebut ditanda tangani oleh Gubernur yang saat itu menjabat yaitu Alm. Bapak Ali Sadikin pada tanggal 7 Juli 1977.


Sebelumnya kami sempat bertanya kepada bapak penjaga menara Museum Bahari, berapa uang yang harus kami bayar untuk masuk ke dalam menara. Beliau menjawab bahwa kami tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun alias gratis untuk menikmati menara Museum Bahari. Tapi itupun tidak setimpal dengan pemandangan yang kami dapatkan diatas puncak menara Museum Bahari.

Setelah puas menikmati pemandangan dari atas menara Museum Bahari, kami menuju gedung utama Museum. Ya, gedung utama Museum Bahari tidak bersebelahan dengan menaranya. Gedung utama museum terpisah dengan menara, tetapi letak gedung utama tak jauh dari menara. Gedung utama Museum Bahari dulunya dibangun oleh orang Belanda sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah. Pembangunannya dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pertama tahun 1718, tahap kedua tahun 1773, dan tahap ketiga tahun 1774. Setelah masa kemerdekaan, gedung ini menjadi kantor telekomunikasi. Tahun 1972 ditetapkan sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi undang-undang monumen (Monumenten Ordonantie) STBL. 1931 No. 238 dan surat keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.CB. 11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972. Dan kemudian pada tanggal 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Gedung Museum Bahari.


Kami dikenakan tarif Rp 2.000,00 untuk masuk ke dalam Museum Bahari. Di ruang depan dekat loket, kami melihat miniatur kapal yang disusun di lemari dan dijual sebagai cindera mata. Di dalam Museum Bahari ini, terdapat gambar dan miniatur kapal bersejarah yang pernah ada dan singgah di pelabuhan Sunda Kelapa. Serta terdapat keterangan beberapa tempat menarik di kota tua Jakarta.

Beberapa miniatur kapal yang ada di Museum Bahari diantaranya, kapal Maruta Jaya yang merupakan Kapal Layar Motor (KLM) yang dikembangkan oleh BPPT, yang merupakan prototype KLM Indonesia masa depan. Teknologi yang dikembangkan dalam kapal ini merupakan perpaduan antara teknologi tradisional menggunakan layar (tenaga angin) dan tenaga mesin. Adapula Kapal Jerman. Kapal Jerman ini merupakan kapal sejenis dengan kapal An Adriatic Nao dari Spanyol atau Portugis. Kapal Jerman ini merupakan kapal besar yang berlayar di bagian utara Mediteranian pada abad ke 13-16.

Miniatur Kapal Mayang yang berasal dari daerah Cirebon, Jawa Barat yang berfungsi sebagai perahu nelayan untuk menangkap ikan. Nama Mayang berasal dari kata payang, yaitu alat penangkap ikan sejenis jaring. Juga terdapat miniatur kapal Phinisi Nusantara kebanggaan Indonesia. Kapal ini adalah kapal layar yang dibuat secara tradisional oleh para pengrajin dari Bugis, tepatnya di desa Tana Beru, Kecamatan Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan. Phinisi Nusantara sengaja dibuat untuk ikut berpartisipasi pada pameran bertaraf internasional di Vancouver, Kanada pada tahun 1986. Phinisi Nusantara dibuat khusus agar mampu mengarungi Samudera Pasifik dengan rute pelayaran Jakarta-Bitung-Vancouver sejauh kurang lebih 11.000 mil laut selama 68 hari. Ekspedisi ke Vancouver ini dinahkodai oleh Captain Gita Ardjakusuma dengan 11 orang ABK (Anak Buah Kapal) yang merupakan pelaut alam dari Bugis, Jawa, Sunda, Padang, dan Timor. Setelah berhasil sampai di Vancouver, Phinisi Nusantara masih mampu berlayar lagi ke San Diego, Amerika Serikat sejauh kurang lebih 1.000 mil laut selama dua minggu. Tidaklah berlebihan bila kemudian Phinisi Nusantara dianggap sebagai pendobrak sekaligus bukti sejarah kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia di dunia bahari.

Di ruang ketiga, kami melihat beberapa perahu yang pernah dipakai nelayan untuk menangkap ikan yang sekarang menjadi miniatur dan di pamerkan di Museum Bahari. Di ruang keempat kami melihat lagi miniatur kapal yang dibuat dan berasal dari berbagai nusantara diantaranya, Perahu Majapahit. Perahu Majapahit ini dibuat berdasarkan relief yang tertera paa dinding-dinding candi Panataran, Jawa Timur yang menunjukan masa kejayaan bahari pada Kerajaan Majapahit. Perahu ini pernah dibuat replika dan diberi nama Damar Segara, untuk berlayar dari Semarang menuju Thailand.


Kapal Cadik Borobudur yang dibuat berasarkan relief yang tertera di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8, melambangkan kejayaan bahari pada masa Kerajaan Sriwijaya. Perahu ini diinterpretasikan sebagai perahu niaga. Pada tahun 2002 dibuat replika Caik Borobudur untuk menelusuri kembali Jalur Kayumanis (The Cinnamon Route) dari Jakarta menuju Ghana, Afrika Selatan sejauh kurang lebih 11.000 mil laut dalam waktu enam bulan.

Perahu Golekan Lete yang berasal dari Madura dan berfungsi sebagai perahu niaga jauh. Saat ini banyak terdapat di hampir semua pelabuhan besar Pantai Utara Jawa-Madura, terutama di pelabuhan Kali Mas, Surabaya. Komoditas yang diangkut terutama balok dan papan kayu dari Kalimantan menuju ke berbagai kota di Jawa dan Madura. Dan kembali ke Kalimantan dengan mengangkut garam, beras, kacang kedelai, jagung, dan sebagainya.

Perahu Nade yang merupakan armada pelayaran rakyat dari Sumatera dan juga berfungsi sebagai perahu niaga jarak jauh. Daerah pelayarannya meliputi wilayah Sumatera, Selat Malaka, dan perairan laut Kalimantan.

Dan yang paling menarik perhatian saya adalah saat melihat miniatur perahu Lancang Kuning. Perahu ini berasal dari Melayu, dulunya igunakan sebagai perahu resmi kerajaan Siak Sri Indra Pura. Lancang Kuning merupakan lambang kekuasaan kerajaan. Menurut legenda, perahu ini milik seorang puteri kerajaan Melayu, jika berlayar selalu didampingi oleh pengawal dan pengayuh yang berpakaian warna kuning. Saat ini Lancang Kuning hanyalah tinggal legenda, dan diabadikan menjadi maskot Pemerintah Daerah Provinsi Riau.

Setelah melihat-lihat miniatur kapal, kami memasuki ruang kantor Museum Bahari. Di dalam kantor kami mengamati beberapa koleksi miniatur kapal yang ada di dalam sana. Dan terlihat koleksi-koleksi tersebut tak ter-urus layaknya barang-barang yang disimpan di dalam gudang, terlebih lagi beberapa arsip foto yang terlihat berantakan dan tak beraturan.


Yang sangat terlihat begitu jelas adalah tembok bangunan Museum Bahari yang sudah mengkelupas dan tak diperbarui. Sebagai masyarakat Indonesia, sebaiknya kita memelihara tempat pariwisata seperti Museum Bahari sebagai aset negara.


Tim Liputan :

  1. Alfaria Jeidy A : Pemimpin Redaksi
  2. Agni Proborini : Fotografer
  3. Gilda Nurfitriyani : Reporter
  4. Sally : Reporter
  5. Rita Prameswari : Sekretaris

0 comments:

Post a Comment